Minggu, 12 Agustus 2018

Sitasi Seratus Persen

Pembaca yang budiman, bagi anda yang sering menulis karya tulis ilmiah (KTI) pasti tidak asing dengan istilah sitasi. Pernahkah anda mengalami sitasi dalam KTI anda di bawah 100%? Ada kutipan, lupa tidak masuk ke dalam daftar pustaka, atau sebaliknya. Nah, sekarang anda tidak perlu kawatir hal semacam itu akan terjadi. Saya akan berbagi cara membuat sitasi kita 100% menggunakan faasilitas yang ada di office ini. Heyy…  tulisan ini diperuntukkan bagi pembaca yang belum berpengalaman ya… kalau merasa sudah bisa, abaikan tulisan ini.
Untuk memasukkan sitasi, pertama-tama letakkan krusor di bodi tulisan tempat kita mengutip quote. Kemudian klik menu reference yang ada di bagian atas (toolbar), pilih style yang kita inginkan dengan cara klik menu style. Ada banyak pilihan style, misalnya APA, GOST, Chicago, Harvard, dll. Selanjutnya pilih insert citation, klik,  lalu pilih add new source. Perhatikan gambar berikut.
                                         
Langkah berikutnya, pilih jenis karya yang kita kutip, apakah buku, jurnal, artikel, dsb. Isi kolom yang tertera di situ dengan informasi yang sesuai, kemudian klik OK. Amati gambar berikut.
                           
Ulangi langkah-langkah ini sebanyak sitasi yang ingin kita masukkan.
Setelah dirasa cukup sitasi yang dibutuhkan, saatnya kita membuat daftar pustaka. Silakan pindah ke halaman baru dan ketik DAFTAR PUSTAKA seperti biasanya jika kita membuat KTI. Kita tidak perlu menulis satu demi satu daftar buku yang kita kutip dalam karya kita. Lagi-lagi, kita bisa memanfaatkan fasilitas reference. Caranya? Klik reference  lagi, lalu klik bibliography. Kemudian pilih insert bibliography.
                                         
Semua judul buku, artikel, jurnal, dsb yang kita kutip secara otomatis akan muncul, tersusun dengan rapi. Praktis, bukan? Kita tidak perlu repot-repot menyusun, semua sudah tersedia. Sitasi kita pun dijamin lengkap 100%.
Oya, ada satu hal lagi. Kita juga bisa mengedit atau mendelete sitasi yang terlanjur kita tuliskan. Caranya? Yup, klik reference. Pilih manage sources, kemudian pilih delete atau edit sesuai yang kita inginkan. Mudah sekali. Namun ingat, jika kita mengedit atau mendelete sitasi padahal kita sudah terlanjur membuat daftar pustaka, kita harus menghapus daftar pustaka lama kita dan menggantinya dengan bibliography baru sesuai editan kita. Langkah-langkahnya sama dengan penjelasan di atas.
                     
Jadi, tunggu apa lagi? Mari kita manfaat fasilitas yang ada untuk mempermudah pekerjaan kita. Selamat datang kemudahan, selamat tinggal keruwetan.

Bojonegoro, 10 Agustus 2018
20.45 WIB

Kamis, 12 Juli 2018

Pele: The Birth of a Legend


Semalam saya menonton film di tivi berjudul "Pele: The Birth of a Legend" yang bercerita tentang kehidupan Pele. Tahu Pele,  kan? Yupp,  dia adalah legenda sepakbola Brazil.
Film ini berseting akhir tahun 50an,  tepatnya tahun 1958 saat Pele menjadi penyelamat tim Brazil dalam meraih Julet Rimes trophy.
Dikisahkan,  Brazil dipermalukan pada dua kali piala dunia, tahun 1950 dan 1954. Kala itu dunia mengenal Brazil dan pemain timnas Brazil sebagai tim liar yang tidak beradab. Ini semua berawal dari sejarah nenek moyang warga Brazil yang indo Afrika yang menjadi korban perbudakan. Budak-budak Brazil menciptakan seni Ginga untuk mempertahankan diri dari kejamnya perbudakan. Pada akhirnya,  dunia melarang adanya perbudakan. Nah,  mantan-mantan budak ini mengekspresikan seni Ginga mereka dalam permainan sepak bola. Namun sayang, dunia mencibir permainan indah mereka dan menyebutnya sebagai permainan yang tidak beradab.
Pele terlahir dengan nama Nascimento Dico. Sebutan "Pele" sebenarnya merupakan hinaan yang diberikan oleh anak-anak orang kaya kepada Dico yang lahir dari keluarga miskin.  Sebenarnya,  ayah Dico adalah mantan pemain timnas. Sang ayah hampir putus asa karena gaya Ginga yang dianggap sebagai permainan liar. Namun,  sang ayah tetap mengajarkan Dico gaya Ginga tersebut.
Singkat cerita,  Dico (Pele kecil) lolos seleksi masuk tim The Santos. Awalnya dia hampir putus asa di tim ini karena selalu mendapat tekanan dari pelatihnya yang tidak suka dengan gaya Ginga-nya.  Namun pada akhirnya dia bisa bertahan bahkan meraih prestasi cemerlang di Santos.  Setelah 18 bulan bermain di The Santos,  Dico terpilih sebagai pemain termudah untuk memperkuat skuad Brazil di piala dunia 1958. Dico baru berusia 16 tahun ketika dia mendapat panggilan untuk masuk TC.
Pemerintah Brazil tidak ingin menanggung malu karena dikecam dunia sebagai tim liar. Karenanya, pelatih timnas Brazil melarang gaya Ginga dan meminta para pemain untuk bermain layaknya tim-tim Eropa. Hal ini sempat membuat anggota tim merasa tertekan dan tidak percaya diri. Beruntung, di detik-detik akhir menjelang laga final melawan tuan rumah Swedia,  sang pelatih mengijinkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri. Mereka boleh menggunakan gaya Ginga sebagai gaya khas Brazil.
Akhirnya, seperti yang kita tahu,  Brazil berhasil mempermalukan Swedia 5-2 dan menjadi juara piala dunia tahun 1958. Itu adalah kali pertama tropi Julet Rimes keluar dari dataran Eropa semenjak piala dunia diselenggarakan di tahun 1930. Pele menjadi pahlawan Brazil. Kehadirannya dielu-elukan di seantero negeri.

Ada banyak pesan moral yang bisa dipetik dari kisah Pele ini. Di sini kita diajarkan untuk "struggle", berjuang dan memperjuangkan impian kita. Berlatih keras,  tidak kenal menyerah dan putus asa adalah hal yang bisa kita teladani dari kehidupan Pele. Dan yang tidak kalah penting ada rasa percaya diri dan kemauan untuk menjadi diri sendiri. Brazil bisa juara karena mereka bangga dengan Ginga style mereka. Mereka membuang jauh-jauh rasa rendah diri karena mereka tidak seperti tim Eropa. Be yourself and be confident... That's the key.

Bojonegoro,  9 Juli 2018

Sabtu, 17 Maret 2018

The Last Call

Bimtek IN Literasi berakhir hari ini. Segera aku berkemas. Tak sabar rasa hatiku untuk bisa segera pulang, bertemu Ferdi kecilku. Masih tersisa cukup waktu untuk ke bandara. Aku memang memilih flight sore agar bisa bareng si AA dari Surabaya menuju Bojonegoro. Tiket Garuda dengan schedule pukul 15.45 sudah dalam genggaman. Segera aku pesan Grab untuk mengantarku dan kawan-kawan menuju bandara.
Pukul 14.00 kami tiba di Soetta. Segera aku check in. Tak berselang lama, boarding pass dengan flight no GA 448 gate 12 sudah ada dalam genggaman. Aku tekankan lagi ya.... Flight no *GA 448 Gate 12*. Tertera juga di situ, boarding time 15.15.  Masih tersisa banyak waktu yang bisa kami gunakan untuk selfi gila-gilaan. Namun perasaanku jadi tidak enak. Sudah pukul 15.15, kenapa gate 12 tidak nampak ada aktifitas boarding.
Detik demi detik berlalu. Setengah tidak percaya aku mendengar announcement, "Penumpang dengan flight no GA 448 Tujuan Kupang dipersilakan menuju gate 25."
GA 448 kok tujuannya Kupang ya? Gate-nya juga beda. Mana mungkin ada no penerbangan dan waktu yang sama tapi tujuan beda? Aku bertanya-tanya dalam hati. Akhirnya, mas Febri, salah seorang temanku bertanya pada petugas di gate 12.
Oh maigad.... Petugas pun menjelaskan bahwa GA 448 memang tujuan Kupang dan transit di Surabaya. Info penting lainnya, gate kami dialihkan dari no 12  ke no 25. Pontang panting kami berlari. Waktu hanya tersisa kurang dari 10 menit sementara jarak gate 12 menuju gate 25 lumayan jauh. Aku yang tidak pernah berolah raga benar-benar keteteran. Nafasku tersengal-sengal serasa mau putus. Aku sempat kepikiran tentang mas Ernas, temanku yang tubuhnya lumayan subur. Namun aku tidak bisa banyak membantu.
Sekali lagi announcer berteriak-teriak, "This is the last call for passangers with flight no GA 448 to Kupang...."
Semakin kupercepat gerak tubuh dan semakin tersengal-sengal nafasku. Thanks God, akhirnya bisa juga kami sampai di gate 25. Kami benar-benar the last passangers. Namun begitu, karena kepo aku masih sempat bertanya pada petugas, kenapa di tiket kami tertera gate 12. Wanita muda yang sedang bertugas itu tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan.
Segera aku menuju ke pesawat. Terdorong rasa penasaran dan juga dongkol, sekali lagi aku bertanya pada petugas di pintu masuk.
"Mengapa di tiket kami tertera gate 12?"
"Ada perubahan gate, Bu."
"Kenapa kami tidak diberi informasi?" aku ngeyel.
"Mungkin Ibu check in terlalu awal."
"Saya check in pukul 2 lewat. Masa itu terlalu awal?"
"Kalau begitu ada kelalaian di bagian check in."
"Enak saja situ bilang begitu. Sedikit saja terlambat tiket saya hangus padahal itu bukan kesalahan saya!"
Dongkol banget aku. Namun aku tetap bersyukur aku tidak sampai ketinggalan pesawat.
Ini benar-benar pengalaman yang amajing dan sedikit melelahkan, tapi asik juga hihihi...
Udahan dulu ya guys....sudah landing nih. Thanks for reading my adventure....

Selasa, 06 Maret 2018

Fajar, Sang Cahaya Keluarga

Aku seorang guru PNS yang mengajar di sebuah SMP Negeri di pedesaan di kecamatan Kedungadem. Sudah belasan tahun aku mengabdi, mengajar murid-muridku yang sebagian besar berasal dari desa sekitar, dari keluarga yang kurang mampu. Untuk lebih jelasnya, aku akan memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana tempatku mengajar, berikut murid-muridnya.
TENTANG KEDUNGADEM
Kedungadem adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Bojonegoro. Kedungadem terletak di wilayah timur Bojonegoro, sekitar 25 km dari pusat kota. Wilayah kedungadem sangat luas. Ada belasan desa, entah berapa tepatnya aku tidak tahu, dan ribuan penduduk. Namun begitu, sebagian penduduk, terutama di wilayah tempat kerjaku, berada pada garis kemiskinan. Ada tiga SMP Negeri di sini, SMPN 1, SMPN 2, dan SMPN 3. Aku mengajar di SMPN 2 Kedungadem.
TENTANG SMP NEGERI 2 KEDUNGADEM
SMP Negeri 2 Kedungadem terletak di desa Ngrandu. Meski merupakan bagian dari kecamatan Kedungadem, letak SMPN 2 Kedungadem lebih dekat dengan kecamatan Sumberrejo, sekitar 12 Km. Jarak SMPN 2 Kedungadem dengan kecamatan Kedungadem sekitar 17 Km. Sekolahku tergolong kecil. Kami hanya punya sekitar 9 – 10 rombongan belajar setiap tahunnya. Total jumlah murid antara 200 – 250 siswa. Hanya sedikit, namun bukan berarti tanpa masalah. Setiap tahun kami selalu menemui berbagai macam masalah dengan siswa: kemampuan akademis yang rendah, sikap dan perilaku yang terkadang kurang santun serta masalah ekonomi. Namun begitu, aku selalu senang mengajar di sini. Setiap hari kurindukan murid-muridku dengan segala tingkah laku mereka.
TENTANG MURID-MURIDKU
Seperti yang aku kisahkan di atas, jumlah muridku sekitar 200an siswa. Beberapa anak mempunyai kemampuan akademis yang sangat baik, sangat pandai. Namun, sebagian besar berada pada level rata-rata bahkan di bawah rata-rata. Satu hal yang aku suka dari murid-muridku adalah semangat mereka untuk bersekolah. Jarak berkilo-kilo meter mampu mereka tempuh dengan bersepada. Sering ketika pulang mengajar aku berbarengan dengan mereka yang berpeluh-peluh mengayuh sepeda di bawah terik matahari. Oya, hampir setiap tahun kami mendapat “kiriman” murid-murid istimewa yang menjadi ladang ibadah kami. Seistimewa apakah? Sabar, nanti pasti aku ceritakan. Salah satu murid istimewaku adalah FAJAR.
TENTANG AKU DAN FAJAR
Aku mengenal Fajar sebagai anak waliku di awal tahun pelajaran. Awalnya aku menganggap dia sama dengan murid-murid yang lain sehingga aku tidak memberi perhatian lebih padanya.
Suatu ketika, ada peringatan PHBI di sekolah. anak-anak datang ke sekolah berpakaian muslim seadanya sembari membawa bungkusan makanan seperti yang diinstruksikan panitia, untuk saling ditukar nantinya. Ketika acara hampir dimulai tiba-tiba beberapa muridku ribut, “Bu guru.....Fajar pingsan.” Bergegas aku menghampiri mereka dan kulihat Fajar terkulai lemas.
Segera aku bawa dia ke ruang UKS. Aku gosok tubuhnya dengan minyak kayu putih dan aku berikan segelas teh hangat padanya. Ketika aku bukan bajunya, masya Allah, rasanya aku tak kuasa membendung air mata. Baju yang dipakainya sangat kumal, dan celana panjangnya sudah mengatung, tanpa pengait. Seutas tali rafia diikatkan kesekeliling celananya, berfungsi sebagai sabuk. Dan yang lebih menyedihkan, dia sama sekali tidak menggunakan pakaian dalam. Ketika aku tanya, dia menjawab dengan singkat, “Tidak punya.”
Singkat cerita, aku dan seorang rekanku mengantar dia pulang naik sepeda motor ketika acara PHBI usai. Rumah tempat tinggalnya, seperti yang aku duga, sangat sederhana. Beralaskan tanah, berdinding bambu denagn atap genteng tanpa plafon, Aku tidak sempat bertemu dengan orang tuanya karena aku sedang tergesa-gesa. Aku berencana membelikan beberapa stel baju dan pakaian dalam untuknya.
Keesokan harinya Fajar tidak masuk sekolah. “Masih sakit” kata teman-temannya. Sepulang sekolah, aku sempatkan mampir ke rumahnya, menengok keadaannya sekaligus menyerahkan baju-baju yang aku beli kemarin. Hari itu aku bertemu dengan orang tuanya. Dari orang tuanya aku tahu banyak hal baru. Fajar adalah anak kedua dari enam bersaudara. Kata orang tuanya, dia sangat antusias ingin bersekolah di SMPN 2 Kedungadem meski.....ternyata dia buta huruf. Ya, Fajar seorang murid SMP tapi sama sekali tidak bisa membaca. Aku antara terkejut dan tidak. Aku terkejut karena ternyata salah satu anak waliku tidak mampu baca tulis. Namun, aku juga tidak terkejut karena keadaan seperti ini hampir aku temui setiap tahun. Seringkali sekolah kami mendapat kiriman siswa istimewa seperti yang aku bilang di atas. Selalu saja ada anak yang tidak mampu baca tulis yang hadir di tengah-tengah kami. Entah, bagaimana proses belajar di SD selama enam tahun dia jalani sehingga sekedar membaca pun dia tidak bisa.
Sejak saat itu, aku rutin membimbing Fajar belajar membaca. Dengan telaten aku kenalkan dia dengan huruf-huruf dan cara membacanya. Kegiatan ini aku lakukan di sela-sela waktu senggangku. Ketika aku ada waktu luang, aku panggil dia dan aku ajak ke salah satu ruangan untuk belajar. Sulit awalnya mengajarinya membaca. Namun aku bertekat, aku harus berhasil. Aku kerahkan seluruh kesabaran yang aku punya untuk membimbingnya.
Hari berlalu. Tanpa terasa hampir tiga tahun Fajar bersekolah di SMPN 2 Kedungadem. Kini dia sudah lancar membaca. Memang hanya membaca yang dia mampu. Untuk bisa menguasai seluruh mata pelajaran seperti teman-teman lainnya aku kira masih terlalu jauh. Tapi setidaknya aku puas, aku bisa memberinya sedikit bekal untuk dia bisa bertahan hidup. Dengan kemampuannya membaca, semoga dia tidak aku mudah diperdaya orang nantinya. Setidaknya, itulah harapanku.
HIKMAH
Tahun demi tahun berlalu. Murid-muridku datang dan pergi silih berganti. Aku pun sudah “lupa” dengan Fajar. Hingga di suatu siang, ada seorang bapak mencariku usai mengambil raport anaknya. Ternyata beliau adalah ayah Fajar yang sedang mengambil raport adiknya. Dari beliau aku dengar cerita tentang Fajar. Setelah lulus SMP ternyata Fajar tidak melanjutkan ke SMA. Selain tidak punya biaya, kemampuan akademisnya –yang hanya sekedar bisa membaca dan menulis- menghalanginya untuk melanjutkan belajar. Fajar pun akhirnya merantau ke Jakarta lalu kemudian pindah ke Kalimantan. Di kalimantan dia bekerja pada juragan ayam goreng “Kentucky”. Dia berjualan ayam goreng. Ternyata dia bisa menjadi pedagang sukses. Tiap bulan dia mengirim sejumlah uang untuk biaya sekolah adik-adiknya di Jawa. Dia pun mengirim uang ke orang tuanya untuk merenovasi rumahnya. Kini rumah itu menjadi lebih layak huni.
Yang paling membahagiakan aku, ternyata dia sama sekali tidak melupakan aku. Lewat ayahnya dia berkirim salam untukku dan berucap terimakasih. “Terima kasih, bu Sulami sudah membimbing saya dengan sepenuh hati. Seandainya dulu saya tidak diajari membaca oleh bu Sulami, entah seperti apa jadinya saya saat ini. Jasa ibu tidak akan pernah saya lupakan.”
Aku menitikkan air mata haru mendengar cerita ayah Fajar. Dulu, ketika aku membimbingnya, aku tidak mempunyai rasa apapun selain melaksanakan tugasku. Aku juga tidak menyangka, jika Fajar yang dulunya buta huruf, kini bisa menjadi cahaya keluarga. Kini, setelah tahu bahwa yang aku lakukan tidaklah sia-sia, aku merasa sangat bahagia. Kini aku semakin sadar, tidak ada hal baik yang dilakukan tanpa memberi arti. Meski hanya sekedar mengajari membaca, jika itu kita lakukan dengan sepenuh hati, insya Allah akan berbuah manis. Doaku selalu untuk murid-muridku, semoga mereka bisa menjadi orang yang baik, yang sukses dan berguna bagi agama, keluarga dan bangsa.
Dan senyumku pun merekah.

*****tamat*****
Bojonegoro, 29 Maret 2016
Seperti dikisahkan oleh SULAMI WAGIYATI, pembimbing Fajar yang hebat

Jumat, 29 Desember 2017

Kisah Sesisir Pisang KW2

Nenek tua itu
Dengan setia menunggui dagangannya
Duduk di bawah, di lantai sebuah pasar
Lalu lalang orang di depannya
Tak satupun yang menghiraukan keberadaannya
Dan...
Mendekatlah lelaki itu
Tanpa banyak cincong
Diambillah sesisir pisang yang nampak terlalu matang
Wanita di sisinya bertanya
Untuk apa kau bayar pisang itu, sedang kualitasnya seperti itu?
Sayang, timpal si lelaki, penuh kesabaran
Tidakkah kau lihat kondisi nenek tua itu?
Andai dia mengemis,
Aku yakin akan banyak yang iba padanya
Namun...
Dia lebih memilih kehormatan diri
Aku lebih ikhlas memberikan beberapa lembar kertas pada nenek tua itu
Daripada...
Kuberikan sekeping logam pada anak muda gagah dan banyak tingkah di seberang sana...

Yahh...
Nyatanya, ini bukan sekedar perkara sesisir pisang kw 2
Nun jauh di dalamnya
Tersimpan suatu kehormatan dan harga diri
Dari....
Seorang wanita renta
Yang dengan sabar menjemput nafkah
Entah sampai kapan

Pasar Banjarejo, 30 Desember 2017

Kamis, 28 Desember 2017

M U T I K

Dia seorang gadis kecil yang manis berusia 12 tahun, duduk di kelas VI sebuah SD Negeri di kawasan Gembong. Tapi jika orang melihat postur tubuhnya yang ceking dan kurus, mereka akan mengira kalau Mutik baru berumur 10 tahun. Sebenarnya Mutik punya wajah yang cantik, sayangnya wajah cantiknya seolah tertutup dengan penampilannya yang kurus kering dan agak kurang terawat. Biarpun begitu, Mutik anak yang sangat lincah dan ceria.
Ibunya, Nur Salamah sebenarnya juga seorang wanita yang cantik berkulit putih dan berambut panjang dan hitam. Tapi sama seperti Mutik, kecantikannya itu tenggelam dalam kemiskinan dan kesusahan hidup, sehingga dia nampak beberapa tahun lebih tua dari usia sebenarnya. Sehari-hari Nur Salamah bekerja membuat gorengan -pisang goreng, tahu isi, ote-ote- untuk dititipkan di warung-warung. Siangnya dia bekerja menjadi buruh cuci dan setrika. Itupun jika ada keluarga yang membutuhkan tenaganya. Hasil dari dia bekerja dia gunakan untuk menghidupi tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil.
Nur Salamah dan Mutik serta dua orang adiknya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di wilayah Gembong, sebuah perkampungan kumuh dan padat penduduk yang terletak di seberang sungai Kalianyar. Mereka berhimpitan-himpitan tinggal di sepetak rumah karena hanya sebatas itu kemampuan mereka mengontrak rumah. Ini semua disebabkan Naryo, suami Nur Salamah yang juga ayah Mutik dan adik-adiknya, adalah seorang pemalas. Tiap hari kerjanya hanya berjudi dan mabuk-mabukan. Sesekali dia bekerja menarik becak, tapi hasil dari menarik becak pun dia habiskan di meja judi atau membeli minuman keras. Jika pulang dalam keadaan setengah mabuk, tak jarang Naryo marah-marah atau bahkan memukul istri dan anak-anaknya. Jika sudah begitu, Mutik langsung kabur, bersembunyi di rumah tetangganya, takut kena bogem ayahnya. Ibunya hanya bisa menangis sambil mengelus dada melihat keadaan ini.
Mutik anak yang tabah. Meski hidup dalam kemiskinan dan punya ayah yang sangat tidak bertanggung jawab, dia tidak pernah mengeluh atau meratapi nasib. Dia selalu optimis dengan cita-citanya. Dia ingin sekolah setinggi-tingginya. Dia selalu mengagumi mbak Kartika, tetangga sebelah rumahnya yang sering menyelamatkan dia dari amukan ayahnya. Dia ingin sekolah di kampus seperti mbak Kartika. Hal itu pernah dia ungkapkan pada ibunya.
“Bu, sehabis SD ini aku ingin masuk SMP 8 yang dekat rumah kita. Biar aku bisa jalan kaki ke sekolah jadi aku nggak perlu keluar ongkos buat naik angkot. Nanti setelah SMP aku mau masuk ke SMA 7 yang dekat rumah juga, dan setelah itu aku mau sekolah di kampus seperti mbak Kartika” ucapnya lugu setengah berkhayal pada sang ibu di suatu sore ketika mereka sedang duduk santai.
Nur Salamah tercenung dalam diam mendengar cita-cita sederhana anaknya. Ketika anak-anak lain punya cita-cita muluk untuk bisa masuk SMP 1 atau 6, Mutik, anaknya yang sebenarnya sangat cerdas itu hanya memilih SMP 8 agar ibunya nggak harus banyak keluar ongkos. Pedih hatinya mengingat itu semua. Jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali Mutik bisa sekolah setinggi mungkin, seperti yang dicita-citakan, tapi apa daya, himpitan ekonomi membuat dia tidak bisa berlaku apa-apa.
“Ibu kok diam aja sih. Kenapa, Bu?” Tanya Mutik keheranan melihat ibunya hanya membisu.
Sambil menghela nafas dan mata yang sedikit berkaca-kaca, akhirnya keluar juga kata-kata dari mulut Nur Salamah “Nduk, maafkan ibu ya. Harusnya kamu bisa sekolah setinggi mungkin seperti yang kamu mau. Kamu anak yang cerdas. Tapi kamu tahu kan bagaimana kondisi keluarga kita? Ayahmu yang penggangguran…, adik-adikmu…, kebutuhan hidup kita…. Ibu bahkan tidak punya cukup uang untuk membiayaimu masuk SMP.”
Mutik diam. Keinginannya sangat besar untuk bisa bersekolah. Dia sama sekali tidak menyangka ibunya akan berkata seperti itu. Dadanya sesak menahan rasa sedih. Tapi bukan Mutik namanya kalau berlarut-larut dalam kesedihan. Dia benar-benar seorang optimist sejati.
“Jangan kawatir, Bu. Mulai sekarang Mutik akan membantu ibu bekerja. Mutik mau berjualan gorengan buatan ibu pagi sebelum sekolah dan sore juga. Aku bisa jualan keliling kampung-kampung atau ke orang-orang proyek yang sedang bekerja membangun bantaran sungai Kalianyar. Pasti laris. Dengan begitu kita bisa menabung cukup uang untuk sekolahku nanti. Kan kita masih punya waktu satu tahun lagi. Benar kan, Bu?”
“Tapi Nduk? Kamu masih terlalu kecil untuk melakukan itu semua.”
“Jangan kawatir, Bu. Mutik pasti bisa. Mutik pandai berhitung kok. Harga satu gorengan Rp. 1.000,00. Kalau ada orang beli 3 berarti Rp. 3.000,00 kan. Kalau dia bayar pakai uang lima ribuan berarti kembalinya…emmm… Rp. 2.000,00. Betul kan, Bu?” cerocos Mitik penuh semangat.
Nur Salamah hanya bisa terdiam.
“Boleh kan Bu? Boleh ya?” rayu Mutik pada ibunya.
Akhirnya ibunya mengalah melihat semangat anaknya yang menggebu-gebu itu, “Baiklah kalau begitu. Tapi kamu harus janji pada ibu, kamu harus berhati-hati jika jualan nanti. Dan bila kamu lelah, kamu bilang ibu, sehingga kamu bisa libur jualannya. Gimana? Setuju?”
“Beres Bu. Jangan kawatir, aku ini anak yang kuat. Kecil-kecil cabe rawit hehehe… Jadi mulai besok aku jualan gorengan ya?”
“Baiklah. Ayo sekarang masuk dulu. Sudah maghrib. Kita sholat berjamaah.” Kedua anak beranak itu pun bergandengan masuk ke dalam rumah.
*****
Begitulah. Sejak saat itu jadilah Mutik anak penjual gorengan. Dia anak yang ulet. Tiap hari dia tak kenal lelah keluar masuk kampung dan menyusuri bantaran sungai Kalianyar untuk menjajakan dagangannya. Gorengan….gorengan…. teriaknya setiap hari, pagi dan sore. Lambat laun semakin banyak orang orang yang mengenalnya. Sebagian orang membeli dagangannya karena iba melihat penampilannya yang kecil dan kurus kering.
Salah satu langganan Mutik adalah bang Adji, mandor proyek Kalianyar. Tiap pagi dia selalu membeli gorengan Mutik beberapa biji. Sesekali dia ajak ngobrol si Mutik.
“Wah, laris daganganmu pagi ini, Tik?” Tanya bang Adji.
“Lumayan Bang. Saya jadi bisa cepat pulang dan siap-siap ke sekolah” jawab Mutik.
“Kalau gak habis biasanya gimana, Tik?”
“Ya saya bawa ke sekolah Bang. Saya jual sama teman-teman.”
“Kamu gak malu?”
“Hlo, kenapa mesti malu? Saya kan gak nyolong? Ini halal Bang hehehe….”
“Mutik…Mutik…. setiap lihat kamu, aku jadi ingat lagunya Iwan Fals. Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu. Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemah jarimu terkepal” timpal bang Adji sambil bersenandung.
Mutik hanya tersenyum mendegar senandung bang Adji. Segera dia berlalu setelah mengucapkan terima kasih. Bergegas dia pulang dan bersiap-siap ke sekolah. Dia tidak mau terlambat karena hari ini jam pertama adalah pelajaran kesukaannya, matematika. Sambil berjalan dia bersenandung lagu favoritnya. Andaikan aku punya sayap….ku kan terbang jauh….mengelilingi angkasa…. kan kuajak ayah bundaku….terbang bersamaku…melihat indahnya dunia…..
Sore hari setelah melepas lelah, Mutik kembali berjualan gorengan. Kali ini dia akan ke kampung Kapasari, sebuah kampung yang terletak di sebelah kampungnya. Rupanya hari ini dewi fortuna sedang bersamanya. Baru saja dia masuk kampung dan mulutnya berteriak gorengan….gorengan… bu Ela, salah seorang langganannya, memanggilnya.
“Mutik….sini… Ibu mau pesan gorengan ke kamu. Bisa kan?”
“Oh, bisa…bisa….Bu. Ibu butuh apa saja dan berapa jumlahnya?” jawab Mutik dengan mata berbinar.
“Buatin pisang goreng, tahu isi, ote-ote dan pelas ya. Masing-masing 30 biji. Jadi total 120 biji.”
“Banyak sekali, buat apa Bu?”
“Besok ada pengajian di rumah ibu. Nah, ibu ingin kasih suguhan gorenganmu buat ibu-ibu jamaah. Uangnya sekarang atau besok?”
“Besok aja Bu, pas saya antar gorengannya.”
“Yaudah kalau begitu. Kamu antar jam 3 ya. Jangan sampai telat.”
“Oke, siap boss” jawab Mutik sembari menaruh tangan kanan di atas kening seperti tentara yang menghadap atasannya. Ibu Ela tertawa sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah Mutik yang lucu dan ceria.
Segera setelah dagangannya habis, Mutik bergegas pulang. Dia sudah nggak sabar mengabarkan pada ibunya kalau dia dapat pesanan banyak buat besok sore. Sudah terbayang dalam benaknya, 120 gorengan. Untuk tiap gorengan biasanya dia diberi laba Rp 200,00 oleh ibunya, yang kemudian dia simpan dalam celengan. Dia tidak pernah menggunakan sepeser pun hasil jualannya untuk jajan atau membeli hal-hal yang tidak terlalu penting. Dia benar-benar fokus menabung untuk biaya sekolahnya. 120 X Rp. 200,00… Rp. 24.000,00. “Wah lumayan, kalau gini terus, aku bukan saja bisa membayar biaya SMPku, aku bahkan bisa membiayai adik-adikku” gumamnya dalam hati. Dia pun tersenyum riang dan tak lupa bersyukur pada Allah atas rejeki yang dia terima hari ini.
*****
Sore itu Mutik sibuk menghitung laba. Baru saja dia terima uang pesanan dari ibu Ela yang pesan gorengan kemarin.
“Berapa pendapatanmu hari ini, Nduk?” ibunya datang menghampirinya.
“Lumayan, Bu. Hasil jualan pagi Rp. 10.000,00, laba dari bu Ela hari ini Rp. 24.000,00. Terus tadi aku dikasih bonus sama bu Ela Rp. 5.000,00. Lumayan. Katanya sebagai uang lelah karena mengantar pesanan ke rumahnya. Bu Ela baik ya Bu. Coba kalau semua orang kaya baik kayak dia….”
“Kamu ini ada-ada saja tho Nduk… Allah menciptakan sesuatu berpasang-pasangan. Ada orang kaya, ada yang miskin. Ada orang baik ada orang jahat. Ada orang royal ada pula yang pelit” timpal ibunya sambil mengelus-elus kepala Mutik. “Jadi total penghasilanmu hari ini Rp. 39.000,00 ya? Simpanlah baik-baik, jangan sampai ketahuan ayahmu. Kamu tahu sendiri kan bagaimana ayahmu…”
Belum selesai Nur Salamah bicara, Naryo suaminya datang. Melihat berlembar-lembar uang dalam genggaman tangan mungil si Mutik, matanya jadi bersinar.
“Wah, Tik, banyak uang juga ya? Sini ayah pinjam barang sehari atau dua hari” seloroh sang ayah setengah mabuk.
“Jangan Mas. Itu tabungan hasil jerih payah Mutik yang akan dia tabung buat biaya sekolahnya” larang sang istri dengan nada cemas.
“Iya Yah. Jangan! Tolong, jangan ambil uang Mutik…” rengek Mutik.
Naryo melotot mendengar anak istrinya berani menentangnya.
“Ah, sini…kamu mau jadi anak durhaka!!!” hardik Naryo pada Mutik. Mutik langsung menciut.
“Durhaka gimana? Mas nggak pernah menafkahi kami. Setiap hari kerjanya hanya tidur, judi dan mabuk-mabukan. Giliran anak punya uang mau kamu rampas juga. Ayah macam apa mas ini?” Nur Salamah tak kuasa menahan emosi.
Naryo muntap mendengar ceramah sang istri. Langsung saja dia gampar pipi istrinya lalu merebut uang dari genggaman Mutik. Setelah itu dia berlalu meninggalkan rumah dengan emosi membara di matanya.
“Ayah…jangan… Jangan ambil uang Mutik!!!”
Mutik berusaha merebut kembali uangnya dari tangan sang ayah. Dia menarik-narik tangan ayahnya. Tapi apa yang terjadi, tanpa belas kasih sama sekali, Naryo mendorong tubuh kecil Mutik hingaa anak itupun terjatuh, terjengkang beberapa meter ke belakang. Naryo pun berlalu tanpa mau menoleh barang sejenak ke arah anak istrinya yang memanggil-manggil namanya. Kedua anak beranak itu, Mutik dan ibunya, hanya bisa menangis sambil berpelukan.
Sejak peristiwa itu, Mutik semakin berhati-hati menyimpan uang hasil jerih payahnya. Dia menghitung dan menyimpan uang tabungannya di tempat yang sangat tersembunyi, yang tak seorang pun tahu. Dia benar-benar trauma dengan kejadian kala itu. Dia tidak ingin ayahnya tahu kalau dia menyimpan banyak uang, lalu mengambilnya dan menghabiskannya di meja judi. Ah Mutik, malang sekali nasibmu, punya ayah seperti itu.
*****
Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah hampir setahun Mutik berjualan gorengan dan menabungkan hasil jerih payahnya. Kini Mutik telah lulus dari SD dan berkat kegigihannya dalam belajar dia berhasil diterima di SMP 8 sesuai dengan keinginannya. Berkat keuletannya dalam berjualan juga dia kini punya tabungan bebarapa ratus ribu, cukup untuk biaya persiapan dia masuk SMP.
Sore itu pukul 04.30, di luar sedang hujan gerimis. Mutik sedang sendirian di rumah. Ibu dan ke dua adiknya sedang tidak di rumah. Mereka sedang berkunjung ke rumah neneknya yang tinggal di kampung lain. Mutik libur tidak berjualan, dia ingin mempersiapkan diri karena esok dia harus registrasi sebagai siswa baru di SMP. Saat itu Mutik tengah asyik menghitung uang yang akan dia gunakan untuk daftar ulang di SMP. Saking asyiknya, dia lengah. Dia tidak sadar kalau ayahnya datang dan mengintip apa yang sedang dia lakukan. Melihat anaknya memegang uang ratusan ribu, mata sang ayah menjadi hijau. Dia segera menghampiri Mutik dan menegurnya.
“Sedang apa kamu, Tik?”
Mutik terperanjat. Matanya terbelalak kaget melihat ayahnya tiba-tiba muncul di hadapannya. Dia berusaha menyembunyikan uang yang ada dalam genggamannya. Tapi terlambat, sang ayah terlanjur tahu keberadaan uang itu.
“Sini, bawa sini uang itu” bujuk sang ayah.
Mutik tidak ingin peristiwa beberapa bulan yang lalu terulang lagi. Dia tidak mau ayahnya mencuri lagi uang darinya. Kali ini dia berusaha mempertahankan diri sekuat tenaga. Terjadilah rebutan di antara bapak dan anak. Sang ayah hampir kewalahan menghadapi perlawanan Mutik. Dengan sangat berani dan sekuat tenaga dia dorong sang ayah hingga terjatuh. Mutik kabur ke luar rumah. Dia tidak peduli meski di luar hujan semakin deras. Yang ada di benaknya saat itu hanyalah bagaimana dia bisa menyelamatkan uangnya dari jarahan ayahnya.
Sebenarnya tujuannya adalah rumah mbak Kartika, perempuan yang selalu menyelamatkannya dari keganasan ayahnya selama ini. Sialnya, mbak Katika sedang tidak di rumah. Pintu rumahnya tertutup rapat. Dia gedor rumah mbak Kartika, tidak ada jawaban. Di belakangnya, dia melihat ayahnya sempoyongan, setengah mabuk, berusaha mengejarnya. Mutik semakin panik. Dia terus berlari menyeberang jalan dan menyusuri bantaran sungai Kalianyar. Sang ayah semakin bernafsu mengejarnya dan hampir berhasil menangkapnya.
Dan…terjadilah malapetaka itu. Karena panik, Mutik jadi kurang hati-hati. Dia pun terpeselet jatuh ke sungai. Saat itu arus sungai sedang deras-derasnya. Sungai Kalianyar meluap karena hujan yang terus mengguyur beberapa hari belakangan ini. Tubuh mungil Mutik pun hanyut terbawa arus sungai. Lalu kepalanya membentur batuan besar, sobek dan berdarah. Mutik tak sadarkan diri. Beberapa tetangga yang mengetahui kejadian itu, berusaha menolong Mutik sementara beberapa anak muda menghajar Naryo, ayah Mutik, karena kesal dengan ulahnya.
Beberapa saat kemudian, Mutik berhasil diselamatkan. Dia masih pingsan, tubuhnya membiru kaku kedinginan. Darah masih juga mengucur dari kepalanya. Dia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Ibunya yang dikabari tentang peristiwa yang menimpa anaknya segera berlari menyusulnya ke rumah sakit, diantar tetangga yang baik hati, sambil berlinangan air mata.
Sesampai di rumah sakit, Nur Salamah segera tanya ke sana sini, mencari keberadaan anaknya. Seorang suster menuntunnya ke suatu ruangan. Di sana, suster itu menunjukkan tubuh Mutik yang sudah kaku membiru. Mutik sudah tiada. Dia kehilangan banyak darah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Nyawanya tak terselamatkan. Nur Salamah menangis meratapi kepergian anaknya. Sedih dan menyesal, mengapa dia tinggalkan Mutik sore itu sendirian di rumah, sehingga dia jadi korban kebrutalan ayahnya. Terbayang di matanya, cita-cita Mutik untuk bisa melanjutkan sekolah di SMP yang tinggal selangkah lagi bisa dia gapai. Hati Nur Salamah hancur teringat itu semua. Tiba-tiba semua nampak gelap, pekat. Dan Nur Salamah pun jatuh tak sadarkan diri.
Lamat-lamat terdengar suara lagu yang diputar dari sebuah HP oleh seorang anak kecil usia SD, yang sedang opname di rumah sakit itu. Lagu kesayangan Mutik.
Satu-satu daun-daun berguguran tinggalkan tangkainya
Satu-satu burung kecil beterbangan tinggalkan sarangnya
Jauh…jauh…tinggi ke langit yang biru
Andaikan aku punya sayap ku kan terbang jauh mengelilingi angkasa
Kan ku ajak ayah bundaku terbang bersamaku melihat indahnya dunia…
Selamat jalan Mutik… Terbanglah ke angkasa, tinggalkanlah dunia yang tidak pernah berpihak padamu. Pulanglah ke rumah Tuhan-mu. Di sana kau akan bahagia. Di sana kau bisa bermain dan belajar sepuasnya, tanpa harus menanggung beban yang tak seharusnya kau tanggung.
Dan para bidadari pun tersenyum menyambut kehadirannya di surga…
***T A M A T***
Tuban, 15 Januari 2013; pukul 10.10 pagi

#catatan:
Naskah ini dimuat dalam buku antologi berjudul MUTIK.

Jumat, 15 Desember 2017

Belajar Berbagi Pengumuman melalui Teknik “Running Dictation”


            Paling susah memang mengajarkan materi announcement (pengumuman) terutama untuk keterampilan mendengarkan dan berbicara. Perlu ide-ide menarik agar siswa mau “speak up”, terutama untuk para slow learners. Rendahnya kemampuan siswa serta rumitnya materi  kadang membuat siswa (bahkan guru) merasa putus asa. Kalah sebelum bertanding, istilah kerennya. Pengalaman saya, saya sering kerepotan mengajarkan teks fungsional terutama untuk keterampilan mendengarkan dan berbicara. Setelah saya mencoba menggunakan berbagai cara, saya merasa bahwa teknik Running Dictation bisa menjadi alternatif yang mudah dan menyenangkan bagi siswa dalam mempelajari teks fungsional, terutama untuk keterampilan mendengarkan dan berbicara.
Saya punya pengalaman mengajarkan materi announcement menggunakan teknik Running Dictation. Materi ini diajarkan di kelas VIII semester 1. Ternyata teknik ini cukup efektif. Anak-anak bisa berlatih mendengarkan, berbicara sekaligus menulis. Mereka juga bisa berlatih menganalisa dan bekerja sama. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan ini antara 2 – 4 jam pelajaran, sesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa.
            Running Dictation adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok. Masing-masing kelompok melakukan kegiatan menyalin teks yang tertempel di dinding, dibaca (dikte) oleh salah satu anggota dan dituliskan oleh anggota yang lain. Untuk lebih konkretnya, kegiatan Running Dication di kelas saya, saya jabarkan sebagai berikut.
            Sebagai kegiatan awal, saya membagi siswa menjadi beberapa kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri atas empat atau lima anggota. Kebetulan dalam kelas saya terdapat 25 siswa. Saya membagi mereka menjadi enam kelompok yang berisi 4 – 5 anggota. Kemudian dalam tiap-tiap kelompok ditentukan satu orang menjadi writer (penulis) dan sisanya menjadi runners (pelari).  Setelah membagi kelompok, saya menempelkan beberapa teks announcement di dinding-dinding sekitar kelas. Satu kelompok mendapatkan satu teks. Nah, masing-masing kelompok harus berlomba menyalin teks yang ada. Salah satu runner berlari ke arah dinding, membaca satu baris teks, kembali ke kelompoknya untuk mendiktekan teks tersebut ke writer. Hal ini dilanjutkan oleh runners yang lain secara bergantian hingga mereka selesai menyalin satu teks penuh.

ANNOUNCEMENT
To: All students of Junior High School 2 Kedungadem
To celebrate the National Education Day the Board of Student Association will hold some interesting programs. They are English Speech Contest, English Story Telling contest and Wall Magazine Competition. The programs will be held on September 4th, 2016, 8 a.m. – 1 p.m.
All classes must take part in the programs and should report their participation to their home teachers.
For detailed information, please contact Mrs. Erika, the coordinator of this program.
OSIS BOARD
               
Usai menyalin seluruh teks, saya meminta setiap regu mengumpulkan hasil kerja mereka untuk kemudian dicek secara silang. Masing-masing kelompok akan mengoreksi dan menganalisa pekerjaan kelompok lain. Mereka harus berusaha menemukan kesalahan sekaligus memberikan pembetulan pada pekerjaan kelompok lain yang mereka koreksi. Agar anak-anak tambah semangat, saya menawarkan reward dengan memilih dua kelompok terbaik. Yang pertama adalah kelompok yang membuat paling sedikit kesalahan pada pekerjaannya, yang kedua adalah kelompok yang mampu menemukan kesalahan terbanyak pada pekerjaan kelompok lain yang dikoreksi,  sekaligus membetulkannya. Anak-anak sangat senang dan bersemangat menganalisa hasil pekerjaan temannya, berharap mereka bisa mengoreksi kata/ kalimat/ frasa sebanyak mungkin.
            Pembahasan secara klasikal tentang announcement pada kegiatan Running Dictation tersebut merupakan tahap kegiatan berikutnya. Saya menunjukkan sekali lagi teks announcement yang benar kemudian membahas kontennya. Berikut adalah contoh hasil pembahasan klasikal saya.

ANNOUNCEMENT
Time  : 08.00 am – 01.00 pm
Date  : September 4th, 2016
Place : Junior High School 2 Kedungadem
Content  :
To celebrate National Education Day, student association will hold:
English Speech Contest
English Story Telling Contest
Wall Magazine Competition
Participator: all students
Contact person: Mrs. Erika
From : OSIS BOARD
To : All students of Junior High School 2 Kedungadem
 





















Dalam pembahasan isi teks announcement tersebut, saya menggunakan leading questions, antara lain:
a.    Whom is the announcement intended for?
b.    Who holds the event?
c.    When will the event be held?
d.    How many programs will be held in the event? What are they?
e.    Etc.
Semua pertanyaan tersebut saya berikan secara lisan. Saya membimbing siswa untuk bisa menjawab secara lisan dan menuliskan jawaban pada form yang tertera di papan tulis.
            Tahap eksplorasi telah terlampaui. Kini tiba saatnya bagi siswa untuk berkreasi. Saya arahkan siswa untuk bekerja berpasangan menyusun draft announcement dengan menggunakan format yang sudah dicontohkan di atas. Siswa bebas menentukan isi announcement sesuai dengan keinginan mereka. Kemudian, saya meminta beberapa kelompok untuk membacakan draft mereka di depan kelas. Saya memberikan koreksi terhadap hasil pekerjaan mereka secara klasikal.
            Puncak kegiatan ini adalah menyusun announcement secara individu. Siswa diminta mengembangkan draft yang mereka susun sebelumnya menjadi sebuah pengumuman (announcement) secara utuh. Siswa juga dipersilakan menghias karya mereka seindah mungkin. Tahap menghias dirasa perlu dengan tujuan mengeksplorasi kreatifitas siswa serta menarik minat mereka. Kegiatan ini diakhiri dengan kegiatan display. Siswa dipersilakan menempelkan karya mereka di dinding kelas agar bisa dilihat oleh teman-temannya. Masing-masing siswa diberi tugas memberi penilaian dan komentar pada empat karya teman mereka (peer assesment). Format peer assessment adalah sbb.

NO.
Name
Addressee
(yes/ no)
Announcer
(yes/ no)
Time/ day/ date
(yes/ no)
Content
(yes/ no)
1.
2.
3.
4.







            Peer assesment menjadi akhir dari pembelajaran materi announcement. Format peer assessment pun saya buat sesederhana mungkin, dengan hanya mencantumkan komentar yes/ no. Di sini siswa hanya diminta memberi komentar yes jika karya temannya dianggap sudah sesuai atau no jika kurang sesuai.
Dari kegiatan terintegrasi ini siswa bisa belajar mendengarkan, berbicara, menulis, menganalisa serta bekerja sama. Dan yang paling penting adalah siswa bisa menikmati setiap fase pembelajaran. Tertarik untuk menerapkannya di kelas anda? Tunggu apalagi? Be prepared and action! Semoga berhasil.



Sitasi Seratus Persen

Pembaca yang budiman, bagi anda yang sering menulis karya tulis ilmiah (KTI) pasti tidak asing dengan istilah sitasi. Pernahkah anda mengala...