Sabtu, 17 Maret 2018

The Last Call

Bimtek IN Literasi berakhir hari ini. Segera aku berkemas. Tak sabar rasa hatiku untuk bisa segera pulang, bertemu Ferdi kecilku. Masih tersisa cukup waktu untuk ke bandara. Aku memang memilih flight sore agar bisa bareng si AA dari Surabaya menuju Bojonegoro. Tiket Garuda dengan schedule pukul 15.45 sudah dalam genggaman. Segera aku pesan Grab untuk mengantarku dan kawan-kawan menuju bandara.
Pukul 14.00 kami tiba di Soetta. Segera aku check in. Tak berselang lama, boarding pass dengan flight no GA 448 gate 12 sudah ada dalam genggaman. Aku tekankan lagi ya.... Flight no *GA 448 Gate 12*. Tertera juga di situ, boarding time 15.15.  Masih tersisa banyak waktu yang bisa kami gunakan untuk selfi gila-gilaan. Namun perasaanku jadi tidak enak. Sudah pukul 15.15, kenapa gate 12 tidak nampak ada aktifitas boarding.
Detik demi detik berlalu. Setengah tidak percaya aku mendengar announcement, "Penumpang dengan flight no GA 448 Tujuan Kupang dipersilakan menuju gate 25."
GA 448 kok tujuannya Kupang ya? Gate-nya juga beda. Mana mungkin ada no penerbangan dan waktu yang sama tapi tujuan beda? Aku bertanya-tanya dalam hati. Akhirnya, mas Febri, salah seorang temanku bertanya pada petugas di gate 12.
Oh maigad.... Petugas pun menjelaskan bahwa GA 448 memang tujuan Kupang dan transit di Surabaya. Info penting lainnya, gate kami dialihkan dari no 12  ke no 25. Pontang panting kami berlari. Waktu hanya tersisa kurang dari 10 menit sementara jarak gate 12 menuju gate 25 lumayan jauh. Aku yang tidak pernah berolah raga benar-benar keteteran. Nafasku tersengal-sengal serasa mau putus. Aku sempat kepikiran tentang mas Ernas, temanku yang tubuhnya lumayan subur. Namun aku tidak bisa banyak membantu.
Sekali lagi announcer berteriak-teriak, "This is the last call for passangers with flight no GA 448 to Kupang...."
Semakin kupercepat gerak tubuh dan semakin tersengal-sengal nafasku. Thanks God, akhirnya bisa juga kami sampai di gate 25. Kami benar-benar the last passangers. Namun begitu, karena kepo aku masih sempat bertanya pada petugas, kenapa di tiket kami tertera gate 12. Wanita muda yang sedang bertugas itu tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan.
Segera aku menuju ke pesawat. Terdorong rasa penasaran dan juga dongkol, sekali lagi aku bertanya pada petugas di pintu masuk.
"Mengapa di tiket kami tertera gate 12?"
"Ada perubahan gate, Bu."
"Kenapa kami tidak diberi informasi?" aku ngeyel.
"Mungkin Ibu check in terlalu awal."
"Saya check in pukul 2 lewat. Masa itu terlalu awal?"
"Kalau begitu ada kelalaian di bagian check in."
"Enak saja situ bilang begitu. Sedikit saja terlambat tiket saya hangus padahal itu bukan kesalahan saya!"
Dongkol banget aku. Namun aku tetap bersyukur aku tidak sampai ketinggalan pesawat.
Ini benar-benar pengalaman yang amajing dan sedikit melelahkan, tapi asik juga hihihi...
Udahan dulu ya guys....sudah landing nih. Thanks for reading my adventure....

Selasa, 06 Maret 2018

Fajar, Sang Cahaya Keluarga

Aku seorang guru PNS yang mengajar di sebuah SMP Negeri di pedesaan di kecamatan Kedungadem. Sudah belasan tahun aku mengabdi, mengajar murid-muridku yang sebagian besar berasal dari desa sekitar, dari keluarga yang kurang mampu. Untuk lebih jelasnya, aku akan memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana tempatku mengajar, berikut murid-muridnya.
TENTANG KEDUNGADEM
Kedungadem adalah salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Bojonegoro. Kedungadem terletak di wilayah timur Bojonegoro, sekitar 25 km dari pusat kota. Wilayah kedungadem sangat luas. Ada belasan desa, entah berapa tepatnya aku tidak tahu, dan ribuan penduduk. Namun begitu, sebagian penduduk, terutama di wilayah tempat kerjaku, berada pada garis kemiskinan. Ada tiga SMP Negeri di sini, SMPN 1, SMPN 2, dan SMPN 3. Aku mengajar di SMPN 2 Kedungadem.
TENTANG SMP NEGERI 2 KEDUNGADEM
SMP Negeri 2 Kedungadem terletak di desa Ngrandu. Meski merupakan bagian dari kecamatan Kedungadem, letak SMPN 2 Kedungadem lebih dekat dengan kecamatan Sumberrejo, sekitar 12 Km. Jarak SMPN 2 Kedungadem dengan kecamatan Kedungadem sekitar 17 Km. Sekolahku tergolong kecil. Kami hanya punya sekitar 9 – 10 rombongan belajar setiap tahunnya. Total jumlah murid antara 200 – 250 siswa. Hanya sedikit, namun bukan berarti tanpa masalah. Setiap tahun kami selalu menemui berbagai macam masalah dengan siswa: kemampuan akademis yang rendah, sikap dan perilaku yang terkadang kurang santun serta masalah ekonomi. Namun begitu, aku selalu senang mengajar di sini. Setiap hari kurindukan murid-muridku dengan segala tingkah laku mereka.
TENTANG MURID-MURIDKU
Seperti yang aku kisahkan di atas, jumlah muridku sekitar 200an siswa. Beberapa anak mempunyai kemampuan akademis yang sangat baik, sangat pandai. Namun, sebagian besar berada pada level rata-rata bahkan di bawah rata-rata. Satu hal yang aku suka dari murid-muridku adalah semangat mereka untuk bersekolah. Jarak berkilo-kilo meter mampu mereka tempuh dengan bersepada. Sering ketika pulang mengajar aku berbarengan dengan mereka yang berpeluh-peluh mengayuh sepeda di bawah terik matahari. Oya, hampir setiap tahun kami mendapat “kiriman” murid-murid istimewa yang menjadi ladang ibadah kami. Seistimewa apakah? Sabar, nanti pasti aku ceritakan. Salah satu murid istimewaku adalah FAJAR.
TENTANG AKU DAN FAJAR
Aku mengenal Fajar sebagai anak waliku di awal tahun pelajaran. Awalnya aku menganggap dia sama dengan murid-murid yang lain sehingga aku tidak memberi perhatian lebih padanya.
Suatu ketika, ada peringatan PHBI di sekolah. anak-anak datang ke sekolah berpakaian muslim seadanya sembari membawa bungkusan makanan seperti yang diinstruksikan panitia, untuk saling ditukar nantinya. Ketika acara hampir dimulai tiba-tiba beberapa muridku ribut, “Bu guru.....Fajar pingsan.” Bergegas aku menghampiri mereka dan kulihat Fajar terkulai lemas.
Segera aku bawa dia ke ruang UKS. Aku gosok tubuhnya dengan minyak kayu putih dan aku berikan segelas teh hangat padanya. Ketika aku bukan bajunya, masya Allah, rasanya aku tak kuasa membendung air mata. Baju yang dipakainya sangat kumal, dan celana panjangnya sudah mengatung, tanpa pengait. Seutas tali rafia diikatkan kesekeliling celananya, berfungsi sebagai sabuk. Dan yang lebih menyedihkan, dia sama sekali tidak menggunakan pakaian dalam. Ketika aku tanya, dia menjawab dengan singkat, “Tidak punya.”
Singkat cerita, aku dan seorang rekanku mengantar dia pulang naik sepeda motor ketika acara PHBI usai. Rumah tempat tinggalnya, seperti yang aku duga, sangat sederhana. Beralaskan tanah, berdinding bambu denagn atap genteng tanpa plafon, Aku tidak sempat bertemu dengan orang tuanya karena aku sedang tergesa-gesa. Aku berencana membelikan beberapa stel baju dan pakaian dalam untuknya.
Keesokan harinya Fajar tidak masuk sekolah. “Masih sakit” kata teman-temannya. Sepulang sekolah, aku sempatkan mampir ke rumahnya, menengok keadaannya sekaligus menyerahkan baju-baju yang aku beli kemarin. Hari itu aku bertemu dengan orang tuanya. Dari orang tuanya aku tahu banyak hal baru. Fajar adalah anak kedua dari enam bersaudara. Kata orang tuanya, dia sangat antusias ingin bersekolah di SMPN 2 Kedungadem meski.....ternyata dia buta huruf. Ya, Fajar seorang murid SMP tapi sama sekali tidak bisa membaca. Aku antara terkejut dan tidak. Aku terkejut karena ternyata salah satu anak waliku tidak mampu baca tulis. Namun, aku juga tidak terkejut karena keadaan seperti ini hampir aku temui setiap tahun. Seringkali sekolah kami mendapat kiriman siswa istimewa seperti yang aku bilang di atas. Selalu saja ada anak yang tidak mampu baca tulis yang hadir di tengah-tengah kami. Entah, bagaimana proses belajar di SD selama enam tahun dia jalani sehingga sekedar membaca pun dia tidak bisa.
Sejak saat itu, aku rutin membimbing Fajar belajar membaca. Dengan telaten aku kenalkan dia dengan huruf-huruf dan cara membacanya. Kegiatan ini aku lakukan di sela-sela waktu senggangku. Ketika aku ada waktu luang, aku panggil dia dan aku ajak ke salah satu ruangan untuk belajar. Sulit awalnya mengajarinya membaca. Namun aku bertekat, aku harus berhasil. Aku kerahkan seluruh kesabaran yang aku punya untuk membimbingnya.
Hari berlalu. Tanpa terasa hampir tiga tahun Fajar bersekolah di SMPN 2 Kedungadem. Kini dia sudah lancar membaca. Memang hanya membaca yang dia mampu. Untuk bisa menguasai seluruh mata pelajaran seperti teman-teman lainnya aku kira masih terlalu jauh. Tapi setidaknya aku puas, aku bisa memberinya sedikit bekal untuk dia bisa bertahan hidup. Dengan kemampuannya membaca, semoga dia tidak aku mudah diperdaya orang nantinya. Setidaknya, itulah harapanku.
HIKMAH
Tahun demi tahun berlalu. Murid-muridku datang dan pergi silih berganti. Aku pun sudah “lupa” dengan Fajar. Hingga di suatu siang, ada seorang bapak mencariku usai mengambil raport anaknya. Ternyata beliau adalah ayah Fajar yang sedang mengambil raport adiknya. Dari beliau aku dengar cerita tentang Fajar. Setelah lulus SMP ternyata Fajar tidak melanjutkan ke SMA. Selain tidak punya biaya, kemampuan akademisnya –yang hanya sekedar bisa membaca dan menulis- menghalanginya untuk melanjutkan belajar. Fajar pun akhirnya merantau ke Jakarta lalu kemudian pindah ke Kalimantan. Di kalimantan dia bekerja pada juragan ayam goreng “Kentucky”. Dia berjualan ayam goreng. Ternyata dia bisa menjadi pedagang sukses. Tiap bulan dia mengirim sejumlah uang untuk biaya sekolah adik-adiknya di Jawa. Dia pun mengirim uang ke orang tuanya untuk merenovasi rumahnya. Kini rumah itu menjadi lebih layak huni.
Yang paling membahagiakan aku, ternyata dia sama sekali tidak melupakan aku. Lewat ayahnya dia berkirim salam untukku dan berucap terimakasih. “Terima kasih, bu Sulami sudah membimbing saya dengan sepenuh hati. Seandainya dulu saya tidak diajari membaca oleh bu Sulami, entah seperti apa jadinya saya saat ini. Jasa ibu tidak akan pernah saya lupakan.”
Aku menitikkan air mata haru mendengar cerita ayah Fajar. Dulu, ketika aku membimbingnya, aku tidak mempunyai rasa apapun selain melaksanakan tugasku. Aku juga tidak menyangka, jika Fajar yang dulunya buta huruf, kini bisa menjadi cahaya keluarga. Kini, setelah tahu bahwa yang aku lakukan tidaklah sia-sia, aku merasa sangat bahagia. Kini aku semakin sadar, tidak ada hal baik yang dilakukan tanpa memberi arti. Meski hanya sekedar mengajari membaca, jika itu kita lakukan dengan sepenuh hati, insya Allah akan berbuah manis. Doaku selalu untuk murid-muridku, semoga mereka bisa menjadi orang yang baik, yang sukses dan berguna bagi agama, keluarga dan bangsa.
Dan senyumku pun merekah.

*****tamat*****
Bojonegoro, 29 Maret 2016
Seperti dikisahkan oleh SULAMI WAGIYATI, pembimbing Fajar yang hebat

Sitasi Seratus Persen

Pembaca yang budiman, bagi anda yang sering menulis karya tulis ilmiah (KTI) pasti tidak asing dengan istilah sitasi. Pernahkah anda mengala...